Be (with) Positive (people)

Sejak pulang dari Melbourne awal tahun 2015, entah mengapa saya merasa energi saya banyak sekali terserap dan lumayan terasa ‘babak belur’ untuk kembali adjustment dengan tanah air. Selain perubahan signifikan dalam hidup saya dengan kehadiran baby R, today I had the chance to really think what actually happened this year. 

Saya hidup di Melbourne hanya 2 tahun. Saya pindah dari kota kelahiran saya Jakarta yang cukup ruwet ke the most livable city in the world. Gak perlu tanya apa saya betah di Melbourne, ya sudah pasti. Kalau ditanya apa saya ingin kembali kesana saat ini? mungkin tidak. Tapi kalau ditanya apa rindu? jawabannya ya. Saya kangen langit birunya, udara bersihnya, public transportation-nya, taman, coffee shops nya atau pemandangan menuju kota-kota kecil di Victoria . Tapi kalau ditanya apa satu hal yang sangat saya rindukan dari Melbourne, saya akan jawab, saya rindu kualitas hidup saya disana.

1453339_10152428455036376_8257173754698478619_nOn the road to Yarra Valley – Sept 27, 2013

Percaya kalau kita adalah produk dari lingkungan kita? pernah merasakan saat kita berada di sekeliling orang-orang yang optimis dan positif secara tidak sadar kita ikut terbawa antusiasime dan pemikiran positif mereka? sebaliknya, pernah merasa saat keluarga marah-marah, kita ikut merasa gelisah dan gak enak hati?

Di Melbourne saya hidup cukup tapi tidak mewah. Kami tinggal di shared house, menempati lantai bawah dengan 1 kamar yang kami namai ‘197 little palace’. We live happily dengan tidak ada pembantu dan semuanya mengurus bersama dengan metode bagi tugas. Biasanya saya bagian beres-beres dan cuci piring sementara suami bagian nyuci baju dan bawa ke dryer. Masak, siapa saja yang sempet masak. Kalau gak sempet, kita jalan 15 menit cari tempat makan atau naik tram 10 menit ke city. Kami punya teman-teman yang cukup beragam yang disatukan dengan keadaan sama-sama pelajar, perantau atau minat yang sama. Life was so simple but when I think about it now, we had created so many things in only 2 years. 

Menjadi co-founder Saman Melbourne, membuat event Saman69 di Federation Square yang awalnya hanya hasil ngobrol berdua di Trunk, menulis untuk MelbourneBite, menjadi host berbagai macam acara di 197 little palace dan masih ada waktu untuk jalan-jalan dan ngumpul entah di berbagai coffee shops, musium, pameran atau sekedar di State Library.  Rasanya hampir seluruh Melbourne sudah saya dan suami jajaki dan sebagian besar Victoria sudah kami lihat. Dalam waktu sempit ditengah saya kuliah dengan assignment yang banyak tak terkira, kerja part-time, suami yang jadwal kerjanya juga sangat padat belum lagi kewajiban rutin beresin rumah, belanja dan masak memasak, kok masih bisa ya kami punya energi dan semangat untuk berbuat begitu banyak? when i think about it now, I guess the underlying reasons were because we lived in a positive environment. 

10603251_789470497769590_8940357262257015904_nSaman69, a social project by Saman Melbourne – Aug 17, 2014

Setiap hari kami tidak harus menghadapi kemacetan, menahan kesal karena ada yang menyerobot antri, polusi, tidak nyamannya transportasi publik, marah marah karena ketidakjelasan suatu prosedur atau pusing mikirin helper di rumah yang minta ini dan itu. Me and my husband also don’t come from a ‘perfect’ family. Pulang ke Jakarta kami kembali terseret dalam berbagai ‘masalah’ keluarga.  This has taken so much of our energy and drain us. 

Ini bukan tentang membandingkan Jakarta dan Melbourne, don’t get me wrong, I do love my country. Tapi ini tentang bagaimana suatu lingkungan baik itu dari sisi lingkungan maupun manusianya, ternyata sangat mempengaruhi kita sebagai individu. Sudah 1 tahun kami pulang, tapi semua niat dan cita-cita yang kami rencanakan saat di Melbourne belum ada yang kejadian. It is so much harder to become a positive person in a relatively negative environment. Lalu kalau lingkungan negatif begitu mempengaruhi energi seseeorang, kapan dong suatu kota seperti Jakarta bisa ‘naik kelas’ menjadi kota seperti Melbourne dan mendorong penduduknya menjadi produktif? isn’t it like chicken and egg?

This,  I personally believe in.  To be able to create or to be productive, a person needs a positive environment. Energy does contagious and it affects our way of thinking and then, our behavior. The question now, if we are living in an environment with so much negative energy, are we strong and bold enough to consciously filter and select our surroundings? 

Ini akan jadi tantangan bagi saya dan suami di tahun 2016. Semoga kami bisa kembali berkarya dan berkontribusi. Bismillahirohmanirohim.

You are the average of the five people you spend the most time with – Jim Rohn

This writing also covered in ABC Australia 

4 Comments Add yours

  1. good one, we do need positive environment to live in a more positive way. Do good and take care there

    Like

    1. Miranti Daniar says:

      mba Masni apa kabar? hope good and healthy ya mba. Thanks mba take care juga disana mba.

      Like

  2. Awardee says:

    Saya sedang alami hal yang sama. 6 bln di Indonesia, rasanya kaya nightmare yg g kelar2.. Sejak Baru bbrp hari plg aja udh dirundung masalah2 keluarga yg kita g ikut andil tp kena imbasnya, jd pusatnya kl org pinjem duit, dan blm lg masalah lingkungan. Pokoknya berat bgt.. Berulang kali saya mimpi berada di Brisbane lg, tp ketika bangun rasanya sedih ternyata itu cm mimpi. Tapi, saya bs dibilang cukup beruntung karena calon suami saya org Victoria.. Jd mungkin setelah masa excursion 2 thn selesai, dan setelah menikah.. saya bisa kembali ke Australia lg dan menata hidup dg lebih baik.. Aamiin

    Like

    1. Miranti Daniar says:

      Hai mba Hang On there, semoga bisa cepat beradaptasi kembali ya dan lancar lancar sama calonnya 🙂

      Like

Leave a reply to Miranti Daniar Cancel reply